Selasa, 01 April 2014

PEMILIK SENYUM KESOPANAN YANG MENAWAN

Hujan kembali turun. Menyirami taman, bunga, pohon, dan apa saja yang tumbuh di bumi ini. Dan aku kembali terjebak disini, di bangku panjang samping perpustakaan kampus yang berhadapan dengan laboraturium biologi, tempat yang paling menyeramkan di masa SMA ku. Tempat membedah hewan, namun tidak untuk sebulan yang lalu. Disaat yang sama, saat hujan kembali membasahi bumi. Ia juga sama sepertiku, terjebak diantara ribuan air hujan yang seketika jatuh membasahi bumi. Robby. Aku sudah lama melihatnya, semenjak ia mengantarkan anak tetanggaku yang tersesat saat pulang sekolah. Sudah lama melihatnya tersenyum manis seperti itu, saat ia baru pertama kali pindah ke kompleks rumahku. Sudah lama melihatnya tertawa lepas saat mengajar anak-anak di TPA ataupun saat bermain futsal bersama teman-teman sebaya di lapangan kompleks. Senang sekali melihat senyum lepas miliknya itu. Senyum yang senada dengan keramahan, keceriaan, kebaikan, dan kesantunannya. Aktif dalam kegiatan remaja masjid yang sama tidak membuat kami selalu akrab dimana saja. Ia terlalu menjaga pandangannya, dari lawan jenis tentunya. Dan aku tak ingin memperlihatkan kekagumanku terlalu jauh, cukup hanya aku dan Allah yang tahu. Bukan tak mungkin bagi seorang wanita untuk menyukainya, bukan? Begitu pun denganku. Ia sangat menjadi dambaan setiap wanita. Di setiap kesopanannya, di sela-sela tawanya, dalam sikap bijaksananya, dan kemahiran tutur katanya. Dan aku hanya mampu mengaguminya dengan diam, dalam senyumku. Karena aku juga harus menjaga kehormatan wanita, bukan?. Dan bukankah rasa cinta walaupun tak diucapkan akan tetap bernama cinta?. Bukankah rasa kagum walaupun tak diucapkan, akan tetap bernama kagum?. Bukankah rasa suka walaupun tak diucapkan akan tetap bernama suka?. Tak perlu terlalu rumit mendefinisikan sebuah perasaan yang berkecamuk di dalam hati. Karena yang harus ditempatkan di hati adalah apa yang membuatmu merasa tenang, nyaman, dan damai. Jauh dari rasa kekagumanku padanya, aku sangat ingin menjauhkan diri dari hal yang sia-sia. Seperti memikirkan senyumnya disaat kami berpapasan. Oh, itu sungguh amat menyiksaku, mencoba menghapus senyum manis penuh kesopanan itu. Bukankah memikirkan hal itu adalah perbuatan yang sangat sia-sia? Belum tentu ia mengalami hal yang sama, bukan? Mungkin tidak untukku. Saat itu, saat pertama bertemu dengannya yang disaksikan bangku panjang ini, ditengah kebosananku menghabiskan waktu untuk menunggu hujan reda. Ia terduduk di ujung bangku sambil membaca sebuah buku, tanpa menyapaku. Hal itu membuatku nyaman untuk kembali melakukan sesuatu yang bermanfaat seperti membaca ataupun menulis cerita. Aku juga salah satu tenaga pengajar di TPA kompleks rumah, sama sepertinya. Jadi aku harus memiliki banyak stock tentang cerita anak-anak yang mendidik, baik itu karya sendiri, ataupun tulisan orang lain. Itu bukan masalah besar. Untuk menghindari hal yang sia-sia, maka haruslah kita berteman dengan orang-orang yang sangat menghargai waktu, seperti sahabat-sahabatku yang berada di Lembaga Dakwah Kampus yang selalu memusatkan pikiran pada pendidikan dan agama. Dan hal itu juga menular kepadaku. Maka, sangat terasa aneh saat aku mendengar teguran yang mengatakan bahwa aku terlalu mengurusi pendidikan dan menyampingkan jodoh. Astaga, umurku baru 22 tahun, apa harus aku menikah sebelum menyelesaikan S1 ku?. “Cari pacar dulu, kan bisa” yang lain menambahkan. Untuk apa menghabiskan waktu yang berharga dengan seseorang yang belum tentu akan menjadi suami kita, jodoh kita. Lebih baik begini, menghabiskan waktu dengan belajar, mengajar, berbakti kepada keluarga, dan mendiskusikan hal-hal yang bermanfaat. Bukankah jodoh kita adalah cerminan dari perilaku kita, karena orang yang baik akan bersama orang yang baik, dan begitu pula sebaliknya. Jadi memang tak ada gunanya untuk mengisi waktu ini bersama seseorang yang bukan menjadi imam di masa depan kelak. Lebih baik tidak mendekati lubang, daripada harus merasakan sakitnya terjatuh, bukan?. Yang perlu dilakukan sekarang hanya memperbaiki diri agar menjadi manusia yang lebih baik, disertai berdoa agar mendapatkan jodoh yang baik, paling tidak seperti pemilik senyum kesopanan yang telah menawan hatiku. Namun, tentu saja hal ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk jodoh yang shalih di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar